Di tengah maraknya kasus korupsi yang melibatkan pejabat Tanah Air, figur Mohammad Hatta berdiri sebagai teladan integritas. Sebagai Wakil Presiden pertama Republik Indonesia, Hatta dikenal akan kesederhanaan hidup dan penolakannya terhadap penyalahgunaan kekuasaan demi kepentingan pribadi.
Hatta menjabat dari tahun 1945 hingga 1956, di mana saat itu banyak kesempatan terbuka untuk memanfaatkan uang negara secara ilegal. Meski praktek korupsi sudah ada di kalangan para pejabat, Hatta tetap teguh pada prinsipnya dan menolak terlibat dalam aktivitas yang tidak etis tersebut.
Sejarawan Anhar Gonggong mencatat bahwa fenomena korupsi pada masa itu dilakukan oleh individu-individu tertentu saja. Ini terjadi karena pimpinan partai terdiri dari orang-orang dengan moral yang baik dan terdidik, sehingga Hatta merasa bertanggung jawab untuk menjaga integritasnya.
Kesederhanaan Hidup Mohammad Hatta yang Menginspirasi
Salah satu kisah yang menggambarkan kesederhanaan Hatta muncul pada dekade 1950-an. Ia terpesona oleh sepatu mewah merek Bally yang ia lihat dalam sebuah iklan, tetapi harganya jauh di luar jangkauannya. Saat itu, Hatta sudah pensiun dan pendapatan pensiunnya hanya Rp1.000 per bulan, jumlah yang sangat minim untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
Meski demikian, Hatta tidak tergoda untuk membeli sepatu tersebut. Dia memprioritaskan kebutuhan sehari-hari keluarganya dan memilih untuk menyimpan iklan sepatu itu sebagai pengingat terhadap keinginannya, alih-alih menghabiskan uang untuk barang yang tidak penting.
Situasi keuangan Hatta semakin sulit setelah pensiun, di mana ia bahkan berjuang untuk membayar tagihan listrik dan air. Uang yang didapat dari mengajar tidak cukup untuk menutupi semua kebutuhan, tetapi ia belum pernah mengeluh atau menunjuk kepada orang lain untuk mengatasi masalahnya.
Pengalaman dan Pertolongan pada Hatta
Melihat keadaan Hatta, Gubernur DKI Jakarta saat itu, Ali Sadikin, merasa prihatin. Dalam sebuah autobiografi, Ali Sadikin menulis tentang inisiatifnya untuk membantu proklamator tersebut dengan menanggung semua tagihan rumah Hatta. Ini merupakan bentuk perhatian dan penghormatan terhadap jasa Hatta dalam memperjuangkan kemerdekaan.
Namun, keringanan tagihan tersebut tidak sepenuhnya memperbaiki keadaan Hatta. Ketika ia mengalami masalah kesehatan dan memerlukan biaya pengobatan yang besar, ia masih harus menghadapi kesulitan finansial. Melalui Sekretariat Negara, pemerintah akhirnya mengambil alih biaya perawatan dan perjalanan Hatta ke Belanda.
Walaupun berhak atas fasilitas kesehatan sebagai mantan wakil presiden, Hatta merasa tidak nyaman menggunakan dana publik untuk kepentingan pribadi. Ia tetap berpegang pada prinsip hidupnya untuk tidak memanfaatkan kekuasaan demi keuntungan diri sendiri.
Kemandirian dan Integritas yang Menjadi Warisan Hatta
Meski kesulitan terus menghampirinya, Hatta memilih untuk mengembalikan biaya pengobatan dan perjalanan tersebut kepada negara. Ia menggunakan tabungan pribadinya untuk melunasi semua pengeluaran tersebut, meskipun pihak pemerintah menolak dan ingin menanggungnya sebagai bentuk pelayanan.
Prinsip kesederhanaan dan integritas anti-korupsi yang dijunjung Hatta tetap bertahan hingga akhir hayatnya. Meskipun ia tidak pernah mendapatkan sepatu yang diidam-idamkannya, ia meninggalkan jejak kehidupan yang ditandai oleh nilai-nilai moral yang tinggi.
Hatta wafat pada tahun 1980 tetapi teladannya akan kesederhanaan hidup dan penolakan terhadap korupsi tetap menjadi inspirasi. Ini menunjukkan bahwa kekayaan sejati bukanlah terletak pada harta benda, melainkan pada integritas dan pengabdian kepada masyarakat.