Gaji yang besar bagi pejabat pemerintah diharapkan dapat menciptakan tanggung jawab lebih dalam menjalankan amanah. Namun, dalam kenyataannya, banyak yang tidak memenuhi harapan masyarakat dan berujung pada skandal yang merugikan.
Banyak pejabat yang berperilaku jauh dari standar etika yang seharusnya. Praktik korupsi yang berlangsung selama bertahun-tahun menunjukkan bahwa gaji tinggi tidak menjamin kinerja yang baik dan berintegritas.
Pernah ada masa ketika harapan akan pemimpin yang bertanggung jawab di ujung tanduk. DiIndonesia, kisah J.P.F. Filz menggambarkan bagaimana seorang pejabat yang hanya mengandalkan gaji besar bisa berujung pada kehancuran.
Sejarah Kenaikan Gaji Pejabat dan Dampaknya
Pada era Hindia Belanda, Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels mengambil langkah untuk menaikkan gaji para pejabat. Daendels percaya bahwa dengan memberi gaji tinggi kepada para birokrat, perilaku korupsi dapat diminimalisir.
Namun, kebijakan ini diiringi dengan ancaman hukuman berat bagi pejabat yang tidak berkinerja baik. Meski demikian, gaji tinggi tidak selalu berbanding lurus dengan kinerja dan tanggung jawab.
Kesenjangan yang menjolok antara pendapatan dan gaya hidup para pejabat menciptakan ruang bagi praktik korupsi. Sejarah mencatat bahwa konstelasi ini sudah lama ada bahkan sejak zaman VOC.
Cerita Tragis J.P.F. Filz
Salah satu cerita yang paling menonjol adalah kisah J.P.F. Filz, seorang kolonel yang bertugas di Ambon. Dalam laporan pers, disebutkan bahwa ia menyerahkan Ambon kepada Inggris meski seharusnya bisa mempertahankannya.
Filz mendapat mandat untuk melindungi Ambon tetapi gagal total dalam menjalankan tugasnya. Dalam kondisi demikian, muncul pertanyaan besar: mengapa seorang pejabat yang digaji tinggi dapat secepatnya memberikan kekuasaan pada musuh?
Pembelaan Filz dalam persidangan tidak membuatnya terbebas dari kesalahan. Ia merasa tidak memiliki cukup amunisi dan perbekalan untuk berjuang.
Proses Pengadilan dan Eksekusi
Setelah melalui proses hukum yang panjang, Filz akhirnya divonis bersalah. Pengadilan militer melihat bahwa ia lalai dalam menjaga kepentingan negara, mengakibatkan kerugian besar.
Ia dijatuhi hukuman mati, sebuah keputusan yang menunjukkan betapa seriusnya kesalahan yang dilakukan. Pada praktiknya, sinyal yang dikirimkan adalah bahwa tidak ada toleransi terhadap kelalaian dalam menjalankan tugas.
Pada 10 Juni 1810, Filz dieksekusi, menandai akhir dari karier dan hidupnya. Ini menjadi pengingat bahwa tanggung jawab pejabat tidak ringan dan harus diambil dengan serius.
Pelajaran dari Sejarah bagi Generasi Sekarang
Sejarah J.P.F. Filz memberikan pelajaran berharga tentang tanggung jawab pejabat publik. Gaji tinggi tidak boleh menjadi alasan untuk abai dalam melaksanakan tugas.
Dalam konteks modern, hal ini menunjukkan bahwa masyarakat perlu tegas dalam mengevaluasi kinerja pejabat. Transparansi dan akuntabilitas harus menjadi landasan untuk memastikan bahwa pejabat dapat menjalankan tugasnya dengan baik.
Pengalaman masa lalu bisa menjadi cermin bagi generasi saat ini dalam memilih dan menilai pejabat. Melihat bagaimana sejarah memperlakukan mereka yang lalai, seharusnya menggerakkan kita untuk mengharapkan yang lebih baik di masa depan.