Todung mengingatkan bahwa kecenderungan kriminalisasi terhadap kebijakan pejabat publik bisa membawa dampak jangka panjang yang berbahaya bagi bangsa. Menurutnya, jika tren ini terus berlanjut, para profesional dan intelektual berintegritas akan enggan mengabdi di pemerintahan.
“Mereka akan memilih untuk bekerja di luar negeri, memicu terjadinya brain drain atau eksodus para intelektual,” tegasnya.
Todung pun mempertanyakan dasar hukum yang membuat Kejagung menetapkan Nadiem sebagai tersangka. Ia menilai pengadaan Chromebook merupakan kebijakan strategis yang sejalan dengan visi digitalisasi pendidikan yang diusung Nadiem sejak awal menjabat sebagai menteri.
Menurut Todung, keputusan pengadaan laptop tersebut berangkat dari visi Nadiem untuk memperkuat literasi digital dan kemampuan teknologi pelajar Indonesia. Visi itu, katanya, bukan semata kebijakan administratif, melainkan bagian dari agenda transformasi pendidikan nasional.
“Ketika dia menjadi menteri, dia juga sudah memiliki pengetahuan, berteriak supaya siswa belajar bahasa Inggris, belajar coding, komputer, dan internet. Dunia digital ini akan menjadi bagian dominan dalam hidup kita ke depan,” jelas Todung.
Ia menekankan bahwa setiap menteri memiliki kewenangan untuk mengambil kebijakan selama kebijakan tersebut tidak melanggar hukum dan tidak memiliki unsur memperkaya diri sendiri. Karena itu, penetapan tersangka terhadap Nadiem, menurutnya, merupakan bentuk penilaian yang keliru terhadap keputusan kebijakan publik.
Dalam era modern ini, keberadaan digitalisasi pendidikan menjadi semakin krusial. Keterampilan digital saat ini bukan hanya sekadar tambahan, melainkan sudah menjadi kebutuhan dasar untuk persaingan di dunia kerja. Investasi dalam teknologi pendidikan, seperti pengadaan Chromebook, dapat menjadi langkah signifikan untuk mendukung pelajar dalam memasuki era digital.
Namun, di tengah upaya transformasi ini, muncul berbagai tantangan dan hambatan. Salah satu yang paling mencolok adalah adanya stigma negatif terhadap kebijakan publik yang diambil oleh pejabat. Ini sering kali membuat para pengambil keputusan ragu untuk melaksanakan inovasi yang diperlukan.
Sebagai contoh, program digitalisasi yang dipimpin oleh Nadiem bukan hanya terbatas pada pengadaan perangkat, melainkan juga mencakup pelatihan dan pengembangan kurikulum. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan tersebut tidak hanya berorientasi pada aspek fisik, tetapi juga pada penguatan kompetensi sumber daya manusia.
Pentingnya Keberanian dalam Mengambil Kebijakan Publik
Salah satu dari tantangan terbesar yang dihadapi oleh pengambil kebijakan saat ini adalah keberanian untuk menghadapi kritik dan resiko. Keberanian ini sangat diperlukan agar kebijakan yang bersifat visioner dapat diimplementasikan dengan baik. Tanpa keberanian, kebijakan yang baik bisa gagal hanya karena ketakutan terhadap penilaian publik.
Di sisi lain, penting untuk memiliki mekanisme evaluasi yang ketat terhadap setiap kebijakan yang diambil. Ini untuk memastikan bahwa kebijakan yang ditetapkan tetap selaras dengan kepentingan masyarakat dan tidak melanggar regulasi yang ada. Evaluasi yang transparan dan akuntabel akan membantu mengurangi stigma negatif.
Sebagaimana yang telah diungkapkan oleh Todung, pertanyaan mendasar yang harus dijawab adalah apakah kebijakan yang diambil sesuai dengan visi jangka panjang untuk pendidikan Indonesia. Ketika kebijakan sudah mengarah pada kemajuan dan peningkatan kualitas pendidikan, dukungan dari semua pihak menjadi sangat krusial.
Dampak Jangka Panjang Kriminalisasi Kebijakan
Kebijakan kriminalisasi terhadap pejabat publik dapat menimbulkan efek domino yang berbahaya. Ini tidak hanya akan mengurangi minat para profesional untuk berkontribusi dalam pemerintahan, tetapi juga menimbulkan ketidakpastian bagi yang sudah terlibat. Hasilnya, inovasi yang diperlukan dalam sektor publik bisa terhambat.
Jika kondisi ini terus berlanjut, efek paling parah yang mungkin terjadi adalah semakin banyaknya individu berkualitas yang memilih untuk meninggalkan negeri mereka. Keputusan untuk bekerja di luar negeri akan menjadi pilihan bagi banyak intelektual yang merasa tidak dihargai. Fenomena ini dikenal dengan istilah brain drain.
Selain itu, adanya ketidakpastian hukum dapat membuat investasi di sektor publik menjadi tidak menarik. Penegakan hukum yang tidak konsisten bisa menjadi penghalang bagi masuknya investasi yang diperlukan untuk pengembangan infrastruktur pendidikan dan teknologi.
Transformasi Pendidikan dalam Era Digital
Untuk mencapai tujuan transformasi pendidikan yang dikaitkan dengan digitalisasi, berbagai inovasi perlu dilakukan. Tak hanya pengadaan perangkat, tetapi juga pengembangan kurikulum yang adaptif dan pelatihan bagi pengajar menjadi sangat penting. Oleh karena itu, keterlibatan semua pemangku kepentingan, mulai dari pemerintah, sektor swasta, hingga komunitas, menjadi sangat penting.
Dalam konteks ini, kebijakan yang diambil harus didasarkan pada analisis yang mendalam tentang kebutuhan pendidikan dan tantangan yang dihadapi. Setiap kebijakan perlu dilandasi oleh data yang akurat dan penelitian yang mendukung. Dengan pendekatan berbasis data, kebijakan dapat lebih mudah diterima oleh masyarakat.
Pada akhirnya, keberhasilan transformasi pendidikan di Indonesia juga tergantung pada komitmen semua pihak untuk bekerja sama. Ini adalah tantangan yang membutuhkan sinergi antara pemerintah, masyarakat, dan seluruh sektor pendidikan. Solusi yang berkelanjutan akan tercapai jika semua komponen ini dapat berkolaborasi dengan baik.