Pemerintah Indonesia baru saja mendapatkan persetujuan untuk mengakuisisi jet tempur Chengdu J-10C dari China. Dalam langkah strategis ini, alokasi dana sekitar US$9 miliar atau setara Rp146 triliun dialokasikan untuk memperkuat angkatan udara nasional dengan kemampuan alutsista modern yang lebih mutakhir.
Di balik kemajuan teknologi penerbangan ini, ada cerita menarik tentang sosok pilot legendaris Indonesia, Mulyono. Meskipun kariernya singkat, kisahnya tetap membekas dalam sejarah penerbangan negara ini.
Mulyono, yang memulai kariernya sebagai masinis, mengalami perubahan drastis ketika ia merasakan ketertarikan pada dunia penerbangan. Ia mengambil langkah berani dengan mendaftar di Sekolah Penerbangan di Malang dan kemudian berpindah ke Sekolah Penerbangan Maguwo, yang kini dikenal sebagai Akademi Angkatan Udara.
Mulyono: Pilot Pertama yang Mengukir Sejarah Penerbangan Indonesia
Masyarakat Indonesia mengenal Mulyono sebagai pilot tempur pertama Angkatan Udara Republik Indonesia. Pada masa-masa awal kemerdekaan, ia terlibat langsung dalam pertempuran udara meskipun masih berstatus sebagai kadet di sekolah penerbangan.
Tahun 1947, Mulyono melakukan serangan udara di Semarang terhadap pasukan Belanda, yang menjadi sejarah penting bagi Angkatan Udara RI. Aksi ini tidak hanya menunjukkan keberhasilan strategis, tetapi juga keberanian luar biasa seorang pilot muda yang baru menyongsong kariernya.
Dengan keahlian terbang yang impresif, Mulyono mampu melakukan manuver yang rumit dalam pesawat tempur. Ia dikenal sebagai pilot yang cerdas dan cekatan, tak jarang berhasil mengecoh pesawat lawan dan menghancurkan target dengan akurasi tinggi.
Perjalanan Karier dan Misi Penuh Resiko
Mulyono melanjutkan pendidikan penerbangan ke berbagai negara, mendapatkan kesempatan yang tidak sia-sia bagi dirinya. Pengalamannya di luar negeri menambah wawasan dan keterampilannya dalam dunia angkasa.
Setelah menyelesaikan pendidikan, Mulyono ditugaskan ke berbagai tempat di Indonesia untuk melaksanakan misi strategis. Ia menghadapi berbagai tantangan, termasuk menjalankan operasi logistik penting untuk mendukung para pejuang di medan perang.
Kemampuannya sebagai pilot berbakat membuatnya menjadi aset berharga bagi Angkatan Udara. Tak hanya sebagai pejuang udara, Mulyono juga terlihat sebagai figur inspiratif bagi generasi penerus di dunia penerbangan.
Tragedi yang Mengakhiri Karier Cemerlangnya
Pada 12 April 1951, Mulyono terlibat dalam pertunjukan aerobatik yang diadakan di Surabaya untuk merayakan lima tahun berdirinya AURI. Di bawah komando Mulyono, pesawat Mustang yang ia kendarai menampilkan manuver yang memukau penonton.
Salah satu aksi yang membuat penonton terpesona adalah ketika pesawatnya melakukan penurunan tajam di udara. Namun, saat pesawatnya terlihat mengeluarkan asap, banyak yang mengira itu adalah bagian dari pertunjukan.
Sayangnya, hal tersebut adalah awal dari bencana. Pesawat yang ia kendarai tiba-tiba jatuh ke tanah, menukik tajam dan mengalami kerusakan parah. Mulyono meninggal dunia di tempat kejadian dalam usia 28 tahun, meninggalkan duka yang mendalam bagi banyak orang.
Kepergian Mulyono menandakan akhir dari karier yang cemerlang dan menjadi sejarah pilot yang harus dikenang. Pemakaman dilaksanakan dengan penuh penghormatan, dan bendera setengah tiang dihormati sebagai tanda kehilangan besar bagi Angkatan Udara dan bangsa Indonesia.
Tragedi ini menjadi pengingat bahwa dunia penerbangan tak pernah lepas dari resiko, terutama bagi mereka yang siap mempertaruhkan nyawa demi negara. Mulyono dikenang sebagai pahlawan di dunia penerbangan yang harus dihormati atas dedikasi dan semangat juangnya.