Kasus paparan radioaktif Cs-137 di Kawasan Industri Modern Cikande, Banten, memperlihatkan potensi dampak serius terhadap kesehatan manusia. Dalam pernyataan resmi yang dikeluarkan pada tanggal 30 September 2025, Menteri Koordinator Bidang Pangan Zulkifli Hasan mengonfirmasi bahwa sembilan orang telah terpapar radiasi, meskipun tindakan penanganan sudah dilakukan.
Pemeriksaan telah dilakukan terhadap lebih dari 1.500 pekerja dan anggota masyarakat di sekitar lokasi tersebut. Dari hasil pemeriksaan, meskipun sembilan orang terpapar, dampak berat terhadap kesehatan tidak terdeteksi. Kementerian Kesehatan telah berupaya memastikan bahwa mereka yang terpapar mendapatkan perawatan yang memadai, bahkan menyediakan obat dari luar negeri.
Paparan radioaktif bukanlah fenomena yang asing bagi masyarakat Indonesia. Sejarah mencatat beberapa insiden serius, salah satunya adalah dampak dari penjatuhan bom atom di Hiroshima pada tahun 1945. Dalam peristiwa tragis ini, tiga mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di Jepang mengalami langsung akibatnya.
Kisah Tiga Mahasiswa Indonesia di Hiroshima
Tiga mahasiswa tersebut adalah Syarif Adil Sagala, Arifin Bey, dan Hassan Rahaya, yang belajar di Universitas Waseda, Tokyo. Mereka mendapatkan beasiswa dari pemerintah Jepang untuk mendalami pendidikan agar kelak bisa berkontribusi pada pembangunan Indonesia.
Namun, nasib malang menimpa mereka saat Amerika Serikat melancarkan serangan bom atom di Hiroshima. Saat kejadian, mereka berada di dalam kelas, tanpa tahu bahwa momen itu akan mengubah hidup mereka selamanya. Ledakan yang terjadi secara tiba-tiba menciptakan ketakutan yang luar biasa dan mengubah segala sesuatu di sekitarnya.
Sagala menggambarkan peristiwa tersebut dalam memorinya dengan penuh rasa ketakutan. Dia menceritakan suara aneh yang menyertai sinar berkilau dari ledakan, seolah alam ini mengeluarkan suara teriakan, yang menandakan bencana yang akan segera terjadi.
Akibat Langsung dari Ledakan dan Perawatan Setelahnya
Setelah ledakan, jumlah korban jiwa mencapai sekitar 120 ribu orang dalam sekejap. Di antara mereka yang selamat, ketiga mahasiswa Indonesia itu dievakuasi ke Tokyo dengan berbagai luka. Meskipun mereka mendapatkan perawatan, radiasi yang telah memasuki tubuh mereka membawa konsekuensi jangka panjang yang serius.
Pemeriksaan medis menunjukkan bahwa tingkat radiasi dalam tubuh mereka sangat tinggi, menyebabkan penurunan drastis jumlah sel darah putih. Dalam keadaan normal, sel darah putih berfungsi melindungi tubuh, tetapi ketika jumlahnya menurun, risiko infeksi dan komplikasi kesehatan meningkat secara signifikan.
Situasi tersebut membuat mereka berada di ambang kritis, dan para dokter memperkirakan bahwa peluang mereka untuk selamat sangat kecil. Dalam keadaan putus asa, dokter meminta mereka menandatangani surat pernyataan yang menyatakan bahwa mereka tidak akan membawa masalah ini ke ranah hukum jika terjadi kematian.
Kejutan yang Mengubah Nasib Mereka
Dalam suasana yang penuh ketidakpastian, datanglah keajaiban. Setelah melewati masa kritis selama satu minggu, ketiga mahasiswa tersebut berhasil bertahan hidup. Keberlangsungan hidup mereka menjadi perlambang harapan di tengah kegelapan yang melanda.
Selama lima tahun ke depan, mereka terus dipantau secara medis oleh tim khusus dari Jepang. Dalam masa pemulihan, mereka mendapatkan perhatian dan perawatan yang dibutuhkan untuk memperbaiki kondisi kesehatan mereka. Akhirnya, mereka diizinkan untuk kembali ke Indonesia dengan pengalaman yang mengubah segalanya.
Setibanya di Tanah Air, masing-masing dari mereka memulai babak baru dalam hidup. Syarif Adil Sagala dan Hassan Rahaya mencoba membangun bisnis, sementara Arifin Bey memilih jalur diplomasi dan keterlibatan dalam urusan luar negeri. Pengalaman mengerikan ini tampaknya membentuk jalan hidup mereka ke depan.