Parade militer yang diadakan oleh China pada 3 September 2025 menjadi salah satu sorotan utama dunia, di mana berbagai pemimpin global, termasuk Presiden Rusia dan Korea Utara, turut hadir. Momen ini menarik perhatian tidak hanya karena tema perayaannya, tetapi juga karena pengaruh politik yang melingkupi kunjungan para pemimpin tersebut.
Di tengah perayaan, Presiden Amerika Serikat memberikan komentar yang menunjukkan ketidakpuasannya terhadap mendekatnya hubungan antara negara-negara tersebut. Ini bukan pertama kalinya hubungan diplomatik Indonesia dengan negara besar lain menjadi sorotan global, terutama saat Presiden Soekarno menjalin kerjasama dengan China pada era Perang Dingin.
Penting untuk memahami bagaimana dinamika internasional mempengaruhi hubungan diplomatik, terutama ketika menonton sejarah yang terulang. Dalam konteks ini, perhatian yang luar biasa dari AS terhadap Indonesia merujuk pada kepentingan strategis mereka di kawasan Asia Tenggara.
Sejarah Kunjungan Soekarno ke China dan Dampaknya
Kunjungan Presiden Soekarno ke China pada tanggal 30 September 1956 adalah tonggak sejarah yang signifikan dalam hubungan diplomatik kedua negara. Sambutan meriah dari pihak China menandai penguatan posisi Indonesia di panggung internasional di tengah ketegangan global saat itu.
Setibanya di Beijing, Soekarno disambut oleh tokoh-tokoh terkemuka seperti Mao Zedong dan Zhou Enlai. Ratusan ribu warga setempat memberikan penghormatan dengan mengangkat foto Soekarno dan meneriakkan slogan-slogan yang mendukung, menciptakan atmosfir yang penuh semangat dan persahabatan.
Namun, perayaan ini juga tidak luput dari pengawasan ketat oleh AS melalui CIA. Dalam dokumen yang dirilis, terungkap bahwa kunjungan Soekarno disinyalir dapat mengubah keseimbangan kekuatan di Asia Tenggara yang strategis. Hal ini menunjukkan seberapa besar perhatian yang diberikan kepada dinamika politik di Indonesia pada masa itu.
Beijing memanfaatkan kedatangan Soekarno untuk memperkuat legitimasi mereka di mata dunia internasional, terutama dalam klaim mereka terhadap Taiwan. Soekarno secara terbuka mendukung ambisi China di Taiwan selama kunjungannya, hal yang jelas menjadi sorotan dan kekhawatiran bagi AS.
Melalui sikapnya yang menyuarakan aspirasi persahabatan Indonesia dan China, Soekarno menunjukkan bahwa Indonesia memiliki pandangannya sendiri dalam menentukan arah kebijakan luar negerinya. Sikap tersebut membentuk landasan bagi hubungan yang lebih erat antara kedua negara.
Pantauan Rahasia dan Efek Propaganda
AS tidak hanya mengawasi kedatangan Soekarno ke China, tetapi juga melancarkan kampanye propaganda untuk mengubah pandangan publik tentangnya. Dalam autobiografinya, Soekarno mengungkapkan bahwa tuduhan terhadapnya sebagai komunis mulai muncul bersamaan dengan kunjungannya ke Beijing dan Moskow.
Menurutnya, media yang dikelola oleh AS berusaha menggiring opini negatif terhadapnya. Ini menciptakan narasi bahwa hubungan yang terjalin dengan negara-negara komunis adalah ancaman bagi Indonesia dan para pejuang kemerdekaan di seluruh dunia.
Penting untuk dicatat bahwa Soekarno melihat hubungan yang erat antara Indonesia dan China sebagai bagian dari sejarah panjang kedua bangsa, yang seharusnya tidak dicampuri oleh kekuatan asing. Ini adalah gambaran bagaimana diplomasi seharusnya dijalankan tanpa adanya intervensi pihak ketiga.
Ketika Soekarno kembali ke tanah air setelah kunjungan tersebut, pengaruhnya di dalam negeri semakin kuat. Namun, hubungannya yang dekat dengan China membawa dampak bagi relasinya dengan AS, yang kian merenggang. Ini memperlihatkan bagaimana keputusan di tingkat pemerintahan satu negara bisa mempengaruhi stabilitas politik di kawasan secara keseluruhan.
Setelah kunjungan itu, Indonesia dan China mengalami saling pengertian yang lebih dalam, terwujud dalam berbagai kerjasama di bidang ekonomi dan politik. Alhasil, poros Jakarta-Peking-Pyongyang muncul sebagai benteng baru dalam geopolitik Asia pada masa itu.
Perubahan Dinamika Politik di Indonesia
Hubungan diplomatik yang terjalin selama era Soekarno berlanjut hingga saat dia lengser dari tugasnya pada 1966. Namun, kehadiran rezim baru di bawah Soeharto membawa perubahan drastis dalam arah kebijakan luar negeri Indonesia. Dia menganggap politik komunis sebagai ancaman, sehingga menutup hubungan diplomatik dengan China.
Keputusan ini menjadi awal dari ketegangan yang berkepanjangan antara Indonesia dan China, yang berlangsung selama beberapa dekade. Ketiadaan komunikasi diplomatik menyebabkan ketidaksalingpahaman dan sering kali memperburuk pandangan publik tentang komunis atau negara-negara dengan ideologi serupa.
Baru pada tahun 1990, hubungan diplomatik antara Indonesia dan China mulai diperbaiki. Ini menandai babak baru dalam sejarah hubungan bilateral yang selama ini terputus. Perkembangan ini membawa harapan bagi hubungan yang lebih baik dan saling menghormati di masa depan.
Seiring berjalannya waktu, hubungan Indonesia dan China berkembang ke arah yang lebih konstruktif. Bagi kedua negara, saling pengertian dan kerjasama dipercayai dapat membawa dampak positif bagi stabilitas dan kemakmuran di kawasan Asia Tenggara.
Memeriksa kembali sejarah interaksi ini memberikan pelajaran berharga, terutama dalam konteks menjalin hubungan internasional yang saling menguntungkan. Dengan memahami bagaimana dinamika tersebut terbentuk, kita dapat melihat fondasi apa yang perlu dibangun agar hubungan antarnegara dapat terjalin dengan baik di masa depan.