Hubungan diplomatik antara China dan Amerika Serikat telah bersejarah dan cukup kompleks, terjalin selama lebih dari empat dekade. Namun, di antara perjalanan panjang ini, terdapat satu insiden yang menjadi titik terendah dalam hubungan kedua negara, yaitu peristiwa yang terjadi pada 7 Mei 1999.
Pada hari itu, Kedutaan Besar China di Beograd, Serbia, menjadi sasaran serangan bom dari pesawat jet milik AS karena kesalahan intelijen. Tiga warga negara China kehilangan nyawa, dan 27 orang lainnya terluka, mengubah seluruh dinamika hubungan diplomatik antara kedua negara.
Insiden ini berlangsung di tengah konflik antara pasukan Serbia dan warga Albania-Kosovo. Saat itu, Angkatan Udara AS melancarkan operasi pengeboman terhadap Serbia dengan pesawat siluman B-2 Spirit, dengan target awal yang salah persepsi terkait markas persenjataan eks-Yugoslavia. Namun, sasaran yang sebenarnya terlewat, menjadikan Kedutaan China sebagai target.
Peristiwa Mematikan di Kedutaan China
Ketika berita tentang serangan ini menyebar, kemarahan besar segera melanda China. Sekitar sepuluh ribu orang berdemo di depan Kedutaan AS dan Inggris di Beijing, menuding NATO sebagai penyebab utama insiden tersebut. Protes ini tidak hanya terbatas di Beijing, tetapi juga terjadi di berbagai negara lain dengan komunitas warga China.
Pemerintah China, yang dipimpin oleh Presiden Jiang Zemin saat itu, langsung menanggapi insiden ini dengan tegas. Ia menganggap serangan tersebut sebagai tindakan biadab, dan menyerukan agar pihak yang bertanggung jawab harus dihukum. Situasi ini tentu saja menambah ketegangan yang sudah ada dalam hubungan China-AS.
NATO, di sisi lain, memilih untuk tidak mengakui kesalahan dan menyalahkan AS atas insiden tersebut. Di tengah tekanan internasional yang besar, pemerintah AS akhirnya mengakui kesalahan dan mengeluarkan permintaan maaf resmi. Presiden Bill Clinton pun menyebut insiden itu sebagai tragedi yang tidak seharusnya terjadi.
Kesalahan Intelijen yang Tidak Terduga
Menurut laporan penyelidikan yang dilakukan setelah insiden, ternyata serangan itu akibat dari kesalahan intelijen. Direktur CIA, George Tenet, mengungkapkan bahwa target yang dijadikan sasaran adalah berdasarkan peta lama yang tidak terverifikasi. Ini jelas menunjukkan betapa berbahayanya keputusan yang diambil tanpa dasar yang kuat.
Kesalahan dalam identifikasi ini seharusnya tidak dianggap remeh. Apalagi ketika diketahui bahwa peta yang digunakan merupakan data dari tahun 1989 dan 1996, yang sudah tidak relevan dengan situasi saat itu. Ini menuai kritik tajam karena membawa konsekuensi fatal bagi warga sipil yang tidak bersalah.
Setelah insiden ini, pemerintah AS berusaha untuk memperbaiki hubungan dengan memberikan kompensasi. Mereka membayar sebesar US$4,5 juta kepada korban yang jatuh dan US$28 juta kepada pemerintah China untuk menutupi kerugian. Namun, banyak warga China merasa bahwa kompensasi tersebut tidak mencerminkan ketidakadilan yang dialami.
Dampak Jangka Panjang terhadap Hubungan Diplomat
Insiden ini kemudian menjadi salah satu momen paling ingat dalam sejarah hubungan diplomatik China dan AS. Tindakan yang terlihat sepele ini melanda kepercayaan dan menghambat hubungan kedua negara untuk waktu yang lama. Dua dekade kemudian, Presiden Xi Jinping menyoroti kembali tragedi ini dalam sejumlah pidatonya.
Dalam kesempatan tersebut, Xi mengungkapkan bahwa meskipun warga China sangat menghargai perdamaian, mereka tidak akan melupakan insiden tragis ini. Ia menegaskan pentingnya menjaga ingatan kolektif akan peristiwa tersebut agar tidak terulang di masa depan.
Ketegangan akibat insiden ini mengisyaratkan bahwa meski telah banyak berkembang dan saling bergantung, hubungan China-AS tetap rapuh. Setiap peristiwa mengingatkan kedua belah pihak akan pentingnya komunikasi yang baik serta kehati-hatian dalam setiap langkah diplomatik.










