Presiden Prabowo Subianto baru-baru ini menyampaikan pidato penting di Sidang Majelis Umum PBB yang ke-80. Dalam kesempatan tersebut, ia menyoroti luka sejarah yang dialami oleh bangsa Indonesia akibat kolonialisme yang berlangsung selama berabad-abad.
“Negara saya memahami penderitaan ini. Rakyat Indonesia telah hidup dalam penindasan yang dalam selama masa penjajahan,” ungkapnya dengan nada penuh emosi.
Menyusuri sejarah, Prabowo menjelaskan bagaimana rakyat Indonesia diperlakukan tidak manusiawi oleh penjajah. Pada masa lalu, sistem kolonial yang diterapkan oleh pemerintah Hindia Belanda menciptakan kelas sosial yang sangat tidak adil.
Sejarah Kolonialisme dan Dampaknya Terhadap Masyarakat Indonesia
Pada tahun 1854, pemerintah Belanda menerapkan Undang-Undang Administrasi Hindia yang membagi masyarakat menjadi tiga kelas. Kelas pertama terdiri dari orang Eropa, sedangkan kelas dua mencakup kelompok Timur Asing dan kelas bawah diisi oleh pribumi yang dianggap sebagai “Inlander”.
Stigma negatif terhadap pribumi muncul dari pembagian kelas ini. Mereka dicap sebagai bodoh dan terbelakang, sehingga diharuskan tinggal di permukiman khusus yang terpisah dari masyarakat lainnya.
Label diskriminatif ini melahirkan perilaku merendahkan dan membatasi ruang gerak orang pribumi. Dalam banyak kasus, tulisan-tulisan di tempat umum melarang mereka masuk, menciptakan rasa inferior yang mendalam di kalangan komunitas tersebut.
Pengalaman Prabowo dan Kenangan yang Menyakitkan
Prabowo Subianto sendiri pernah menyaksikan dampak dari diskriminasi ini secara langsung. Dalam memoirnya, ia mengenang saat bersama pasukannya berkunjung ke kolam renang Manggarai, tempat di mana prasasti penghinaan terhadap pribumi masih dapat ditemukan.
Prasasti yang terbuat dari marmer tersebut tertutup lumut, dan ketika dibersihkan, Prabowo terkejut menemukan tulisan dalam bahasa Belanda yang kembali mengingatkan pada penganiayaan di era kolonial.
Kenangan ini menunjukkan bahwa jejak sejarah tidak mudah dihapus. Pengalaman pribadinya menjadi cermin bagi banyak orang dengan latar belakang yang sama, merasakan dikhianati oleh sejarah.
Tokoh-Tokoh Pergerakan yang Mengalami Diskriminasi Serupa
Selain Prabowo, banyak tokoh pergerakan nasional lainnya juga mengalami tindakan diskriminasi. Soekarno, pendiri bangsa, bahkan pernah disebut dengan sebutan menghina seperti “Anjing-anjing Jepang” hanya karena hubungan politik yang kompleks di masa itu.
Demikian pula, komponis terkenal W.R. Soepratman mengalami penganiayaan serupa. Ia dipukuli oleh orang Belanda dan dilecehkan dengan gelar “inlander busuk”, menunjukkan bahwa rasisme merambah ke sektor seni dan budaya juga.
Diskriminasi ini menjadi larutan pahit dalam sejarah yang perlu diingat. Melalui pengorbanan dan perjuangan ini, Indonesia berhasil mengukir kemerdekaan dan menjadikan sejarah sebagai pelajaran.
Transformasi Sosial Setelah Kemerdekaan Indonesia
Setelah Indonesia merdeka, struktur sosial yang diskriminatif mulai runtuh. Banyak dari sebutan merendahkan yang dahulu ada kini menjadi bagian dari catatan kelam sejarah bangsa.
Proses transformasi ini tidak mudah, tetapi langkah demi langkah masyarakat berusaha menumbuhkan kesadaran akan nilai-nilai kemanusiaan dan persamaan hak. Penghargaan terhadap martabat manusia kini menjadi fokus utama dalam pembangunan nasional.
Generasi baru Indonesia berkomitmen untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama. Kebangkitan kesadaran ini memicu upaya melawan diskriminasi dan mempromosikan persatuan serta toleransi di seluruh pelosok negeri.