Kebebasan bersuara dalam unjuk rasa adalah hak penting warga negara, namun kadangkala dapat menimbulkan reaksi yang mendalam, bahkan dari sosok pemimpin seperti Soekarno, Presiden pertama Indonesia. Dalam konteks sejarah yang terjadi pada tahun 1966, kita menyaksikan bagaimana gelombang demonstrasi mahasiswa menguras emosi dan menciptakan ketegangan antara pemerintah dan rakyat.
Pada masa itu, kondisi perekonomian Indonesia sangat memprihatinkan. Harga barang-barang kebutuhan pokok melonjak tajam, sementara situasi politik pun tidak stabil, membawa berbagai tuntutan dari masyarakat untuk perubahan yang lebih baik.
Dari sudut pandang Soe Hok Gie, seorang aktivis dan pengamat momen tersebut, dia menyampaikan bahwa perdagangan bahan pokok tidak terkontrol dan harga bensin melonjak menjadi dua kali lipat. Desakan dan ketidakpuasan masyarakat berujung pada aksi demonstrasi yang diselenggarakan oleh ribuan mahasiswa di Jakarta.
Aksi Protes Mahasiswa dan Respons dari Pemerintah
Para mahasiswa merasa bahwa suara mereka harus terdengar, dan sebagai wujud nyata dari tuntutan, mereka memilih untuk turun ke jalan. Dalam aksi tersebut, mereka menyampaikan aspirasi mereka dengan kekuatan kata-kata yang tajam, bahkan terkesan kasar terhadap pemerintah.
Soe Hok Gie menulis dalam memoirnya bagaimana poster-poster dengan pesan berisi kritik keras terhadap menteri-menteri Soekarno dipasang di sepanjang jalan menuju istana. Pesan-pesan tersebut tidak hanya berisi kritik, tetapi juga mencerminkan ketidakpuasan mendalam terhadap kebijakan yang dianggap tidak menguntungkan rakyat.
Dalam variasi yel-yel yang mereka teriakkan, para mahasiswa menyampaikan keprihatinan mereka mengenai harga barang-barang yang terus melambung. Umpatan kasar kepada para menteri pun melekat dalam aksi mereka, menciptakan suasana yang penuh ketegangan.
Perasaan Soekarno di Tengah Gelombang Demonstrasi
Menanggapi aksi demonstrasi yang semakin meluas, Presiden Soekarno tidak tinggal diam. Dalam sebuah rapat kabinet pada 15 Januari 1966, Soekarno mengungkapkan perasaannya yang mendalam terkait ejekan dan umpatan yang datang dari kalangan mahasiswa.
Ia merasa terluka dan merasa bahwa pendekatan yang digunakan mahasiswa tidak pantas dilakukan terhadap orang yang lebih tua. Ucapan ‘menteri goblok’ dianggapnya sebagai serangan yang lebih berat daripada sekadar menyebut ‘bodoh’, mencerminkan ketidakpuasan mendalam yang dimiliki mahasiswa.
Soekarno yang dikenal karismatik meminta pemuda untuk bersabar dan tidak hanya mengandalkan penilaian berdasarkan emosi semata. Namun, sikap defensifnya justru dibaca sebagai ketidakmampuan untuk mengatasi masalah yang cukup kompleks ini.
Reshuffle Kabinet dan Akibatnya
Seiring berjalannya waktu dan tuntutan mahasiswa kian meningkat, Soekarno akhirnya melakukan reshuffle kabinet pada Februari 1966. Namun, langkah ini tidak mengurangi gelombang protes yang ada, melainkan menambah ketidakpuasan, karena reshuffle tersebut dinilai tidak menjawab tuntutan riil rakyat.
Pemilihan anggota kabinet yang masih terasosiasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) menjadi alasan kuat bagi mahasiswa untuk melanjutkan aksi demonstrasi mereka. Mereka merasa bahwa kehadiran tokoh-tokoh yang dipandang dekat dengan PKI dalam pemerintahan adalah satu bentuk pengkhianatan.
Dengan demikian, aksi protes yang dilakukan mahasiswa semakin tidak terkendali, menghasilkan demonstrasi besar-besaran yang diiringi dengan teriakan penuh kemarahan yang terus bersifat ofensif. Lingkungan politik semakin memburuk, menciptakan ketegangan yang tidak bisa dikesampingkan.
Supersemar dan Perubahan Besar dalam Sejarah Indonesia
Situasi yang kian tidak stabil memaksa Soekarno untuk mengambil keputusan yang drastis. Ia meresmikan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) untuk memberikan kekuasaan kepada Jenderal Soeharto dalam mengendalikan situasi. Langkah tersebut menandai pergeseran kekuasaan yang signifikan di Indonesia.
Supersemar tidak hanya menjadi instrumen untuk menanggulangi krisis, tetapi juga menjadi titik balik bagi kekuasaan Soekarno yang mulai tergerus. Jenderal Soeharto kemudian mengambil alih kendali pemerintahan, dan era Orde Baru pun dimulai, menggantikan era sebelumnya yang dipimpin oleh Soekarno.
Peristiwa ini menggambarkan bagaimana ketidakpuasan rakyat dapat mengguncang pemerintahan dan menghasilkan perubahan yang jauh lebih besar dari yang dibayangkan. Transisi kekuasaan ini menjadi cerminan dari ketidakstabilan politik yang berakar dalam kebijakan serta interaksi pemerintah dan rakyat.