Di Indonesia, banyak pejabat yang sering kali memanfaatkan posisi mereka untuk kepentingan pribadi, mengejar fasilitas atau materi. Namun, ada contoh teladan dari Ketua Dewan Perwakilan Rakyat/Majelis Permusyawaratan Rakyat, Idham Chalid, yang mengedepankan integritas dan kesederhanaan dalam menjalankan tugasnya.
Idham Chalid adalah sosok yang patut dicontoh, terutama di tengah maraknya praktik tidak etis di kalangan pejabat negara. Dia menunjukkan bahwa jabatan dapat digunakan untuk kepentingan publik, bukan untuk memperkaya diri sendiri.
Menelusuri Jejak Karier Idham Chalid dalam Politik
Idham Chalid adalah seorang ulama sekaligus politisi yang terikat erat dengan Nahdlatul Ulama (NU). Pada 1956, di usia 34 tahun, dia menjabat sebagai Ketua Umum Pengurus Besar NU, di mana saat itu NU berperan tidak hanya sebagai organisasi Islam, tetapi juga sebagai partai politik.
Partisipasinya yang aktif dalam Pemilu 1955 membuat NU mendapatkan posisi keempat dengan 45 kursi di parlemen. Ini menunjukkan betapa pentingnya strategi dan kepemimpinan Idham dalam meraih pencapaian tersebut.
Karir politik Idham semakin melambung ketika dia menduduki beberapa jabatan penting. Di era demokrasi parlementer, dia pernah terpilih sebagai Wakil Perdana Menteri serta Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara, mencerminkan peran sentralnya dalam berbagai kebijakan negara.
Komitmen Idham Chalid terhadap Kesederhanaan dan Integritas
Di tengah hiruk-pikuk dunia politik, Idham Chalid tetap berpegang pada prinsip sederhana. Sebagai Ketua DPR/MPR pada tahun 1971, dia menolak untuk menggunakan fasilitas negara secara berlebihan, termasuk mobil dinas yang biasanya menjadi hak pejabat.
Bahkan, dia secara tegas melarang keluarganya untuk menggunakan uang di luar penghasilan resmi mereka. Idham percaya bahwa uang yang diperoleh dengan cara tidak sah akan berakibat buruk, tidak hanya bagi dirinya tetapi juga bagi keluarga.
Dalam pandangannya, masyarakat harus diingatkan bahwa mereka tidak boleh terus dibohongi oleh janji-janji manis para pejabat. Idham mempercayai, tindakan nyata jauh lebih penting daripada kata-kata kosong yang hanya menjanjikan hal-hal yang tidak realistis.
Idham Chalid: Pensiun dengan Mengabdi pada Agama dan Masyarakat
Setelah masa jabatannya berakhir pada 1977, Idham Chalid memilih untuk pensiun dari dunia politik. Dia kembali ke jalur dakwah dan mengabdikan hidupnya sebagai guru ngaji, membimbing generasi muda dalam ajaran agama.
Idham tidak hanya berhenti di situ; dia juga memimpin berbagai lembaga keagamaan dan terlibat aktif dalam mendidik ratusan santri. Dedikasinya terhadap pengajaran mencerminkan komitmennya terhadap pengembangan spiritual masyarakat.
Kariernya sebagai politisi diakhiri dengan reputasi yang baik, tercermin saat ia wafat pada 11 Juli 2010. Satu tahun setelah kepergiannya, pemerintah memberikan penghargaan sebagai Pahlawan Nasional, menandakan pengakuan atas jasa dan dedikasinya kepada bangsa.