Kota Jakarta kembali diguncang oleh gempa berkekuatan 4,9 pada Rabu malam, 20 Agustus 2025. Kejadian ini membuat warga di ibu kota dan sekitarnya merasakan ketegangan dan kepanikan. Badan Geologi Indonesia menyatakan bahwa gempa ini disebabkan oleh aktivitas sesar naik di zona Sesar Baribis.
Walaupun peristiwa ini terbilang baru, sejarah mencatat bahwa serangkaian gempa besar pernah mengguncang Jakarta, termasuk suatu insiden yang terjadi 191 tahun lalu. Peristiwa tersebut mengingatkan kita akan bahayanya aktivitas seismik di kawasan ini yang dapat menimbulkan kerusakan parah.
Mari kita telaah mengenai gempa yang terjadi pada 9 Oktober 1834, yang menjadi salah satu bencana besar dalam sejarah Jakarta. Pagi itu, getaran kecil mulai dirasakan di Jakarta dan sekitarnya, tetapi banyak yang tidak menyadarinya sebagai tanda akan terjadinya bencana.
Kisah Bencana Gempa 1834 di Jakarta
Malam tanggal 9 Oktober 1834, cuaca sangat panas, sehingga warga Jakarta hanya ingin beristirahat setelah seharian beraktivitas. Ketidaktahuan akan bahaya yang mengintai membuat banyak orang tertidur lelap, sementara bumi bergetar sebelum terjadinya bencana besar.
Pagi hari tanggal 10 Oktober, suara gemuruh mengguncang tanah dan disertai getaran hebat membuat penduduk terbangun dalam kepanikan. Dalam kegelapan malam, orang-orang berlarian mencari tempat aman, sementara bangunan-bangunan hancur berantakan di sekeliling mereka.
Menurut laporan dari surat kabar lokal, sekitar pukul 01.30 dini hari, guncangan dahsyat terjadi. Hampir semua bangunan dari bahan batu tidak dapat digunakan lagi, dengan banyak di antaranya mengalami kerusakan parah atau bahkan runtuh.
Kesaksian dari Saat Terjadi Gempa di Jakarta
Pada masa itu, Jakarta belum dipenuhi gedung-gedung menjulang tinggi seperti sekarang. Sebagian besar bangunan terbuat dari kayu yang memiliki pondasi sederhana. Meskipun demikian, dengan populasi sekitar 70.000 hingga 80.000 jiwa, dampak dari gempa ini sangat besar.
Ketika sinar matahari mulai terbit, pandangan tentang kehancuran jelas terlihat. Sebagian besar Istana, yang merupakan tempat tinggal Gubernur Jenderal, runtuh dan sisanya hancur berkeping-keping.
Tak hanya Jakarta, beberapa wilayah seperti Buitenzorg (sekarang Bogor) dan Priangan juga merasakan dampaknya. Bangunan-bangunan di kawasan tersebut mengalami kerusakan parah, termasuk istana dan rumah penduduk yang roboh.
Dampak Gempa Terhadap Wilayah dan Penduduk
Ahli geologi Jerman, Arthur Wichmann, mencatat bahwa gempa 10 Oktober 1834 menyebabkan longsor besar di berbagai titik, terutama di lereng Gunung Gede. Longsoran tersebut menutup aliran sungai dan menimbulkan banjir, yang semakin memperburuk situasi.
Di Cipanas, longsoran dari lereng gunung mengubur stasiun, menewaskan lima orang dan sepuluh ekor kuda, serta merusak rumah-rumah di sekitar lokasi. Jalan raya yang menghubungkan Bogor dengan Cianjur juga mengalami kerusakan parah, terbelah akibat retakan tanah.
Sebulan setelah bencana, pemerintah kolonial menyimpulkan bahwa pusat gempa berada di kawasan Megamendung, Bogor. Asumsi ini muncul dari pola kerusakan yang paling parah terjadi di sana, dan berkurang secara progresif menuju daerah lain.