Aqua belakangan ini menjadi perhatian banyak kalangan di Indonesia. Sebagai salah satu perusahaan Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) terkemuka, mereka dituduh mengambil air dari sumur bor, bukan mata air pegunungan seperti yang selama ini diklaim.
Perusahaan tersebut telah memberikan penjelasan, menyatakan bahwa air yang mereka gunakan berasal dari akuifer di area pegunungan. Hal ini memicu berbagai reaksi dari publik, yang mulai meragukan sumber air yang mereka konsumsi.
Tanggapan dari Menteri Lingkungan Hidup pun menambahkan dimensi baru dalam perdebatan ini. Ia meminta para produsen air minum untuk bersikap transparan mengenai sumber air yang digunakan demi perlindungan konsumen.
Sejarah Pengelolaan Air di Jakarta yang Dimulai pada Masa Kolonial
Jauh sebelum nama Aqua muncul, terdapat sejarah panjang tentang pengelolaan air di Jakarta yang dimulai di masa kolonial. Ketika itu, sumber air bersih menjadi isu penting bagi masyarakat yang tinggal di Batavia, terutama ketika kualitas sungai semakin menurun.
Pembentukan Gementeestaat-Waterleidingen van Batavia pada tahun 1922 menandai langkah awal dalam sistem pengelolaan air modern di Jakarta. Lembaga ini bertugas untuk menyediakan air bersih melalui pipa-pipa yang dibangun khusus untuk mengalirkan air dari Gunung Salak ke Jakarta.
Proyek ini lahir sebagai solusi untuk mengatasi berbagai masalah kesehatan masyarakat akibat pencemaran air. Selama bertahun-tahun, warga Batavia, baik pribumi maupun Eropa, menghadapi kesulitan untuk menemukan sumber air bersih.
Penemuan Sumber Air Bersih dari Gunung Salak
Pada tahun 1918, pemerintah Hindia Belanda menemukan mata air baru yang sangat jernih di Ciburial, kaki Gunung Salak. Penemuan ini memberikan harapan baru bagi masyarakat yang kesulitan mendapatkan air bersih dan memicu proyek besar untuk membangun pipa baru.
Pipa baja sepanjang 50 kilometer dibangun untuk mengalirkan air bersih dari Ciburial menuju berbagai wilayah di Jakarta. Proyek ini menunjukkan ambisi pemerintah untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat meskipun pelaksanaannya tidak seluruhnya tanpa masalah.
Air dari mata air ini memiliki debit yang sangat kuat dan pada awalnya menyebabkan banyak pipa yang pecah akibat tekanan yang tidak terduga. Berita di koran bahkan melaporkan tentang “ledakan” pipa yang mengakibatkan sejumlah kerusakan.
Akibat Sosial dan Ekonomi dari Proyek Air Ledeng
Meski air bersih ini sangat bermanfaat, tidak semua orang bisa merasakannya. Proyek pengelolaan air ini lebih menguntungkan kalangan mampu, karena biaya instalasi yang sangat tinggi. Hal ini menciptakan kesenjangan akses terhadap sumber daya vital di tengah masyarakat.
Istilah “air ledeng” pun lahir dari proyek ini, mengacu pada air yang mengalir melalui pipa. Istilah ini menjadi bagian dari kosakata sehari-hari masyarakat, menandai transisi dari penggunaan sumber air tradisional ke sistem yang lebih modern.
Bahkan hingga sekarang, istilah tersebut masih digunakan, menandakan bagaimana sejarah pengelolaan air telah membentuk cara pandang masyarakat terhadap sumber daya air di perkotaan.











